JAKARTA – Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) menghormati langkah tujuh pencipta lagu dan musisi yang mengajukan permohonan uji materiil terhadap Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 56 Tahun 2021 dan Peraturan Menteri Hukum (Permenkum) Nomor 27 Tahun 2025.

Para pencipta lagu tersebut adalah Ali Akbar, Eko Saky, Vien Adiyanti, Rento Saky, Ugie Uturia, Arie Zain, dan Enteng Tanamal yang juga menjabat sebagai Ketua Pembina LMK KCI.

Permohonan uji materiil ke Mahkamah Agung ini, telah terdaftar secara resmi dengan nomor register 5874-HUM-2510291110, pada 29 Oktober 2025 lalu.

Menanggapi hal tersebut, Komisioner LMKN, Dedy Kurniadi, memandang langkah tersebut sebagai bagian dari hak setiap pihak yang berkepentingan terhadap tata kelola lisensi dan royalti lagu serta musik Tanah Air.

“Pada prinsipnya, LMKN menghormati setiap sikap dan upaya hukum yang dilakukan sesuai dengan cita-cita Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, yang mengamanatkan perlindungan hak ekonomi atas penggunaan musik dan lagu dalam layanan publik bersifat komersial,” jelas Dedy Kurniadi di Jakarta, Kamis, 6 November 2025 petang.

Ia menjelaskan, sejak disahkannya UU Hak Cipta, eksistensi LMKN terus menguat dalam menjalankan misi mewujudkan perlindungan dan penegakan hak ekonomi pencipta serta pemilik hak terkait.

Misi tersebut, kata dia, dijalankan melalui ketentuan pelaksanaan seperti PP No.56 Tahun 2021, yang terakhir kali diperkuat dengan Permenkum No.27 Tahun 2025 tentang pengelolaan royalti hak cipta lagu dan/atau musik.

“Eksistensi LMKN memiliki dasar hukum yang jelas sebagaimana diatur dalam Pasal 89 UU No.28 Tahun 2014,” sebutnua.

Pasal ini menurut Dedy Kurniadi yang membidangi masalah Hukum itu, mengamanatkan keberadaan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional yang objektif dan terpisah dari Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) yang bersifat subjektif, dengan kewenangan menarik, mengelola, dan mendistribusikan royalti bagi kepentingan pencipta dan pemilik hak terkait.

Dedy Kurniadi menambahkan, sistem lisensi penggunaan lagu dan musik untuk publik yang bersifat komersial, membutuhkan institusi tunggal dalam penarikan dan pengelolaan, sedangkan LMK berkewenangan mendistribusikannya kepada anggotanya.

“Bayangkan jika kewenangan itu dimiliki banyak lembaga, tentu akan menimbulkan kekisruhan dan tumpang tindih dalam penarikan dan pengelolaan royalti di kalangan user atau pengguna musik dan/atau lagu,” paparnya.

Sebagai lembaga bantu negara non-APBN, LMKN juga memiliki tanggung jawab melakukan pembinaan serta memberikan rekomendasi terhadap LMK, agar tercipta LMK ideal yang menjadi andalan para anggota, baik pencipta maupun pemilik hak terkait.

“LMKN akan terus melanjutkan perbaikan tata kelola lisensi dan royalti lagu dan/atau musik di Indonesia. Kami berharap, seluruh pihak dalam ekosistem royalti dapat bersama-sama memperbaiki diri, sehingga ekosistem ini semakin kuat, transparan, dan berkeadilan,” tandas Dedy Kurniadi. (*)