JAKARTA – Upaya Institut Musisi Jalanan (IMJ) untuk menertibkan tata kelola musik di ruang publik, mendapat apresiasi dari Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN).
IMJ sejak lama berkeinginan agar para musisi jalanan yang bernaung di bawahnya turut berkontribusi dalam pembayaran hak cipta melalui skema 2 persen. Pembayaran itu bukan dibebankan kepada musisi, melainkan dilakukan oleh IMJ sebagai organisasi tempat berhimpunnya para musisi jalanan.
Ketua LMKN Bidang Pemilik Hak Terkait, Marcell Siahaan, menyambut positif niat baik tersebut. Menurutnya, semangat IMJ untuk mematuhi aturan hak cipta menunjukkan kesadaran yang patut dicontoh oleh berbagai pihak.
“IMJ ini ternyata sudah punya kerja sama tata kelola dengan sejumlah pihak seperti bandara, KAI, dan MRT. Band-band difabel diberi kesempatan tampil di ruang publik, tapi mereka tidak dibayar oleh pengelola kawasan. Penghasilan mereka diperoleh dari pengunjung melalui kotak sawer atau QRIS,” kata Marcell, Jumat (7/11/2025).
Ia menilai model seperti ini menarik, karena tetap memberi ruang berekspresi bagi musisi, termasuk kelompok difabel, sambil tetap menghormati hak cipta. Namun, Marcell menegaskan bahwa kewajiban pembayaran royalti, sebenarnya berada di tangan pengelola kawasan, bukan pada musisi atau IMJ.
“Sudut pandangnya ada pada pengelola kawasan. Jadi, yang wajib mengikuti regulasi adalah pihak pengelolanya, bukan musisi jalanan melalui IMJ yang menjadi tempat mereka bernaung,” ujarnya.
Sebelumnya, pihak IMJ sempat menghubungi Marcell untuk menyampaikan niat mereka membayar royalti musik. Namun, menurut Marcell, penyanyi jalanan atau pengamen termasuk dalam kelompok marjinal yang justru perlu mendapat perlindungan dan perhatian, bukan beban tambahan.
“Mereka bukan pelaku usaha, melainkan seniman jalanan yang menghidupi diri lewat karya. LMKN tentu tidak bisa memperlakukan mereka sama seperti pelaku usaha di sebelas sektor komersial yang telah diatur,” katanya.
Sebagaimana diketahui, sebelas sektor usaha yang diwajibkan membayar royalti meliputi hotel, restoran, tempat hiburan, penyiaran radio dan televisi, transportasi umum, pertokoan, penyelenggara konser atau live event, serta beberapa sektor lain yang menggunakan musik untuk tujuan komersial.
“Kami sangat menghargai niat baik teman-teman penyanyi jalanan yang datang dengan itikad ingin membayar royalti. Namun secara regulasi, mereka tidak termasuk kategori pengguna komersial yang diwajibkan membayar,” jelas Marcell.
Marcell menyampaikan hal itu usai kegiatan pendistribusian royalti LMKN kepada Lembaga Manajemen Kolektif Royalti Anugrah Indonesia (LMK RAI), Kamis (6/11/2025).
Ia menambahkan, langkah IMJ mencerminkan kesadaran positif terhadap hak cipta dan pentingnya menghormati karya musik.
“Kesadaran seperti ini perlu diapresiasi. Tapi aturan tetap harus ditaati agar sistem lisensi musik berjalan tertib dan adil bagi semua pihak,” tutup Marcell.
Marcell menambahkan, sedangkan lembaga yang menaungi para penyanyi jalanan saja memiliki niat untuk membayar royalti, pertanyaannya bagaimana dengan pihak-pihak lain yang menggunakan musik dan/atau lagu untuk kepentingan komersial?
“Langkah IMJ seharusnya menjadi cermin bagi para pengguna musik agar lebih menghargai hak cipta dan kontribusi para pencipta lagu di Indonesia,” tutupnya. (*)
