Hotel Sultan Jakarta pada tanggal 19 – 21 September 2019 dipenuhi oleh pengunjung yang akan mengikuti kegiatan AKATARA.

AKATARA itu sendiri merupakan program kerjasama antara Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) dan Badan Perfilman Indonesia (BPI), yang bertujuan untuk memfasilitasi pembiayan dan memberikan akses permodalan bagi usaha di dalam ekosistem perfilman Indonesia atau dapat dikatakan Forum Bisnis dan Pasar Perfilman Indonesia.

Penyelenggaraan AKATARA ini merupakan penyelenggaraan yang ke 3 kali sejak pertama kalinya dilaksanakan pada tahun 2017 dan berlangsung selama 3 hari.

Pada pelaksanaannya AKATARA  diisi oleh berbagai kegiatan diantaranya diskusi panel yang dilaksanakan pada kamis, 19 September 2019.

Peserta yang hadir dalam diskusi tersebut kurang lebih 100 orang terdiri dari bebagai kalangan, mulai dari mahasiswa, para movie maker, akademisi, instansi pemerintah, awak media dan lain-lain.

Tema yang diusung pada diskusi tersebut mengenai “Mengupas Aspek Hak Kekayaan Intelektual dalam Penulisan Naskah dan Musik untuk Produksi Film”.

Sebagai narasumber pada acara diskusi itu Ari Juliano Gema, Deputi Fasilitasi Hak Kekayaan Intelektual dan Regulasi Bekraf, Tya Subiakto, Penata Musik, Susanti Dewi, Produser Film, Wida Handoyo, Produser Film dan Ifan Adriansyah Ismail, Penulis Naskah.

Acara dibagi 2 sessi. Sessi pertama membahas hak kekayaan intelektual yang berkaitan dengan penulisan naskah, premis, ide cerita, tagline dan lain-lain. Untuk sessi kedua membahas hak kekayaan intelektual yang berkaitan dengan musik dan lagu dalam produksi film.

Pada sessi pertama Ari Juliano Gema, menjelaskan bahwa hak kekayaan intelektual itu penting sekali untuk melindungi pekerja kreatif seperti pencipta lagu, penata musik, penulis naskah dan lain-lain agar jika ada upaya pembajakan hak cipta dari pihak-pihak tertentu dapat diproses secara hukum.

Menurutnya, penulis naskah film (pencipta) dengan produser (pengguna hak cipta) dalam negoisasinya menentukan fee royalti terlebih dahulu harus melakukan kontrak (kesepakatan-kesepakatan) secara profesional sehingga jika terjadi sengketa dapat diselesaikan dengan baik tanpa merugikan kedua belah pihak.

Wida Handoyo sebagai produser film menjelaskan bahwa dalam film banyak sekali kekayaan intelektual yang harus dilindungi karena film itu merupakan hasil dari kumpulan beberapa hak cipta didalamnya. Lagu, musik, naskah, scrip, tagline, logo bahkan judul film itupun merupakan hak cipta.

Sebagai produser harus memahami, mengenali, mendata, mengompensasi dan mengamankan kekayaan intelektual yang ada pada film yang dibuat.

Menurutnya juga membuat perjanjian yang tepat dengan semua pihak terkait kekayaan intelektual yang ada pada film merupakan hal yang sangat penting dilakukan oleh seorang produser.

Sessi terakhir dari diskusi penel ini membahas hak kekayaan intelektual dibidang musik dalam pembuatan film.
Peranan musik dalam film sangat penting agar film tersebut jauh lebih hidup dan dapat meningkatkan kualitas pengalaman bagi penonton.

Peranan musik seringnya tidak disadari oleh penoton yang hanya fokus pada jalannya cerita dan peran para aktornya.

Ari Juliano Gema menjelaskan bahwa ada 2 tindakan yang harus dilakukan oleh produser terkait hak cipta tentang musik dalam pembuatan film.

Pertama produser harus mengetahui terlebih dahulu siapa yang mempunyai hak cipta atas musik yang akan disingkronisasikan dengan film karena ada yg dipegang oleh pihak publisher dan perusahaan rekaman hal ini harus jelas setelah itu lakukan perjanjian atau kontrak.

Kedua saat film itu tanyang dibioskop pihak produser harus mengumumkan kepada LMK (lembaga Manajemen Kolektif) selaku pemegang performing rights dan membayar royalti sesuai tarif yang sudah ditentukan.

Pada saat melakukan negoisasi atau kontrak antara penulis/pencipta lagu dengan produser yang harus diperhatikan adalah ketentuan yang tercantum pada pasal 18 Undang-undang No 28, 2014 Tentang Hak Cipta.

Pasal tersebut menyatakan: Ciptaan buku, dan/atau semua hasil karya tulis lainnya, lagu dan/atau musik dengan atau tanpa teks yang dialihkan dalam perjanjian jual putus dan/atau pengalihan tanpa batas waktu, Hak Ciptanya beralih kembali kepada Pencipta pada saat perjanjian tersebut mencapai jangka waktu 25 (dua puluh lima) tahun.
Menurut Ari Juliano Gema seringkali istilah peralihan dan pengakuaan dalam perjanjian kontrak menjadi polemik dan disini harus hati-hati.

Jika menggunakan istilah dialihkan maka berlaku pasal tersebut diatas dan penulis lagu akan mendapatkan kembali hak ciptanya setelah 25 tahun kemudian.

Jika menggunakan istilah pengakuan artinya penulis lagu mengakui bahwa hak ciptanya diserahkan kepada produser maka hak cipta tersebut tidak akan kembali lagi kepada penulis (pencipta) sepenuhnya milik produser.

Kegiatan ini dilakasanakan dalam rangka mensosialisasikan hak kekayaan intelektual bagi pelaku bisnis kreatif dan mendorong agar dapat meningkatkan lagi karya-karyanya dan aman dari ancaman pembajakan.

Diskusi panel ini diakhiri forum tanya jawab dari para peserta kepada para panelis dengan antusiasnya para peserta mengikuti diskusi tersebut dari awal sampai akhir.

 

Artikel ini telah tayang di berita AKATARA dengan judul “Hak Kekayaan Intelektual dalam Produksi Film”.